Gangguan makan seperti anoreksia nervosa dan bulimia bukan hanya menyentuh tubuh dan pikiran—mereka juga meninggalkan jejak yang nyata di dalam mulut. Ironisnya, area tubuh yang paling sering digunakan untuk menyembunyikan gejala gangguan makan justru menyimpan banyak tanda yang tidak bisa dibohongi. Gigi yang rapuh, gusi yang berdarah, dan nafas yang berbau asam adalah bagian dari cerita yang lebih dalam.
Ketika Gangguan Makan Menggerogoti Kesehatan Gigi
Bayangkan mulut sebagai garis depan pertahanan tubuh. Setiap makanan (atau kekurangannya), setiap muntahan paksa, atau bahkan obat pencahar berlebihan—semuanya meninggalkan efek langsung pada rongga mulut. Pada pasien dengan anoreksia, produksi air liur menurun drastis karena kekurangan nutrisi dan dehidrasi. Air liur yang seharusnya melindungi gigi dari asam justru tak cukup tersedia, membuat gigi lebih rentan terhadap karies.
Di sisi lain, bulimia nervosa, yang ditandai dengan siklus makan berlebihan dan muntah secara paksa, menghadirkan bahaya asam lambung yang terus-menerus menyentuh permukaan gigi. Akibatnya, erosi enamel menjadi salah satu tanda paling khas. Enamel gigi yang terkikis menyebabkan nyeri, sensitivitas, dan perubahan warna gigi. Lebih buruk lagi, proses ini seringkali terjadi tanpa disadari pasien sampai kerusakan sudah terlalu luas.
Lebih dari sekadar estetika, kerusakan ini juga bisa mengganggu fungsi mengunyah, berbicara, dan bahkan kepercayaan diri. Banyak pasien merasa malu untuk tersenyum atau berbicara, menambah beban psikologis yang sudah mereka tanggung.
Mengembalikan Senyum: Peran Penting Perawatan Mulut dalam Pemulihan
Penting untuk disadari bahwa kesehatan mulut bukanlah urusan kosmetik semata. Dalam konteks gangguan makan, ia adalah indikator penting kondisi tubuh dan bisa menjadi pintu masuk dalam proses penyembuhan.
Langkah pertama adalah kesadaran: baik pasien, keluarga, maupun tenaga medis harus memahami bahwa keluhan mulut bukan masalah sepele. Kunjungan rutin ke dokter gigi seharusnya menjadi bagian integral dari penanganan gangguan makan. Dokter gigi dapat mengenali tanda-tanda awal seperti enamel yang menipis di bagian dalam gigi depan atas—suatu ciri khas pada pasien bulimia yang belum tentu disadari oleh dokter umum.
Selain itu, pendekatan interdisipliner sangat krusial. Psikolog, psikiater, ahli gizi, dan dokter gigi perlu bekerja sama dalam membentuk program pemulihan yang menyeluruh. Misalnya, dokter gigi dapat merekomendasikan pasta gigi khusus untuk mengatasi erosi dan sensitivitas, serta memberi panduan tentang cara berkumur setelah muntah (menggunakan larutan baking soda, bukan langsung menyikat gigi karena justru memperparah erosi).
Hal lain yang tak kalah penting adalah membangun hubungan yang aman dan suportif antara tenaga kesehatan dan pasien. Banyak pasien dengan gangguan makan merasa terhakimi saat berkonsultasi, terutama jika tanda-tanda kerusakan terlihat jelas. Oleh karena itu, pendekatan empatik dan penuh pengertian menjadi kunci agar pasien tidak merasa disalahkan dan justru mau membuka diri.
Bonus Tips: Menjaga Mulut Tetap Sehat di Tengah Perjuangan
-
Jangan langsung menyikat gigi setelah muntah. Tunggu minimal 30 menit agar enamel sempat “netral”.
-
Gunakan mouthwash tanpa alkohol agar tidak memperparah mulut kering.
-
Sediakan permen bebas gula atau kunyah permen karet xylitol untuk merangsang produksi air liur.
-
Minum air secara teratur, terutama jika mengalami mulut kering atau sedang menjalani terapi nutrisi.
Menutup Luka yang Tak Terlihat
Mulut sering dianggap sebagai cermin dari tubuh, tapi pada pasien dengan gangguan makan, ia juga menjadi cermin jiwa yang sedang berjuang. Menyadari bahwa senyum bukan hanya soal gigi putih, tapi tentang rasa aman dan penerimaan, membantu kita melihat pentingnya perawatan mulut dalam konteks yang lebih dalam.
Kesehatan mulut bukanlah akhir dari cerita, tapi bisa menjadi awal untuk kembali mencintai diri sendiri—dari dalam dan luar.
BACA JUGA : Pengaruh Diet Vegan terhadap Kesehatan Gigi dan Gusi